Minggu, 15 Juni 2014

Hadits tentang Jihad Fi Sabilillah


JIHAD FI SABILILLAH
A. Pengertian jihad fi sabilillah
Jihad diartikan perjuangan. Jihad adalah bentuk masdar yang berasal dari kata جاهد- يجاهد- مجاهدة/ جهادا. Arti secara bahasa menunjukkan pada sebuah usaha mengerahkan segala kemampuan, potensi dan kekuatan. Meski secara umum, orang memahami jihad dalam pengertian perang membela agama dan membela kehormatan ummat, namun sebenarnya al-Quran dan Sunnah menggunakan kata itu dalam pengertian lebih luas spektrumnya.[1]
Menurut Ibnu Mansur dalam kamus “Lisanul Arab” yang dikemukakan oleh Drs. Budi Abdullah dalam bukunya mengatakan “Jihad adalah berusaha dan menghabiskan segala daya dan kekuatan baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Menurut Syeikh Rasyid Ridha, Jihad adalah jalan yang menyampaikan kita kepada keridhaan-Nya, jalan untuk memelihara agama-Nya dan memperbaiki keadaan hamba-hambanya.
Sedangkan menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani, jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.
B. Fadhilah jihad dan berjaga-jaga di garis depan
Hadits LM : 1237
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ     
قَالَ رَجُلٌ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِي شِعْبٍ مِنْ الشِّعَابِ يَعْبُدُ رَبَّهُ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ
و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فَقَالَ وَرَجُلٌ فِي شِعْبٍ وَلَمْ يَقُلْ ثُمَّ رَجُلٌ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari 'Atha bin Yazid Al Laitsi dari Abu Sa'id dia berkata, "Seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling utama?" beliau menjawab: "Seorang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" beliau menjawab: "Kemudian seorang laki-laki yang pergi menyendiri ke suatu bukit untuk beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan dari kejahatan manusia." Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yusuf dari Al Auza'i dari Ibnu Syihab dengan sanad ini, dengan mengatakan; lalu ada seorang laki-laki dari suatu kaum tidak hanya kata seorang laki-laki.[2]

            Keterangan hadits:
            Ibnu Hatim meriwayatkan bersama Ath-Thabari dari jalur Qatadah, ia berkata, لولا ان الله ب بينها ودل عليها لتلهف عليها رجال ان يكونوا يعلمونها حتى يطلبونها (sekiranya Allah tidak menjelaskan niscaya terjadi kesedihan mendalam pada sejumlah orang karena mereka ingin mengetahuinya hingga bisa mendapatkannya).
            مؤمن في شعب (mukmin yang berada dilembah). Dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Ma’mar dari Az-Zuhri disebutkan, رجل معتزل (laki-laki yang mengasingkan diri).
            يتقي الله (bertaqwa kepada Allah). Dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Az—Zubaidi, dari Az-Zuhri disebutkan, يعبد الله (beribadah kepada Allah). Sementara dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan, معتزل في شعب يقيم الصلاة ويؤتي الزكاة ويعتزل شرور الناس (mengasingkan diri disuatu lembah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan menghindari kejahatan manusia).
            Dalam riwayat At-tirmidzi, diia mengategorikannya sebagai hadits hasan dan Al-Hakim dia menshahihkannya, dari jalur Ibni Abi Dzi’b dari Abu Hurairah, ان رجلا مر بشعب فيه عين عذبة, فآعجبه فقال: لو اعتزلت, ثم استآذن النبي صلى الله عليه وسلم فقال: لا تفعل, فان مقام احدهم في سبيل الله افضل في صلاته في بيته سبعين عاما (sesungguhnya seorang laki-laki melewati suatu lembah yang terdapat mata air tawar. Laki-laki itu pun kagum dibuatnya dan berkata, ‘sekiranya aku mengasingkan diri’. Kemudian dia meminta izin kepada Nabi SAW dan beliau bersabda, ‘jangan lakukan, karena kedudukan salah seorang diantara merekadi jalan Allah lebih utama daripada shalat dia di rumahnya selama tujuh puluh tahun ).
            Hadits ini mengandung keterangan tentang keutamaan menyendiri (mangasingkan diri) karena perbuatan ini dapat menjauhkan seseotrang dari ghibah (menggunjing), perkataan sia-sia dan serupa dengannya. Adapun mengasingkan diri dari manusia secara total, maka mayoritas ulama membolehkannya ketika terjadi fitnah.
C. Siapa yang perang untuk menegakkan kalimatullah (Agama Allah) maka itulah yang bernama fi sabilillah
LM : 1243
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Harb telah bercerita kepada kami Syu'bah dari 'Amru dari Abu Wa'il dari Abu Musa radliallahu 'anhu berkata; Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Seseorang berperang untuk mendapatkan ghanimah, seseorang yang lain agar menjadi terkenal dan seseorang yang lain lagi untuk dilihat kedudukannya, manakah yang disebut fii sabilillah?" Maka Beliau bersabda: "Siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah dialah yang disebut fii sabilillah".[3]
            Keterangan hadits:
            (Bab orang yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah), maksudnya keutamaan orang yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah. Atau ada kemungkinan kaimat tersebut berbunyi; orang yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang diperhitungkan.
            جاء رجل (seorang laki-laki datang). Dalam riwayat ghundar telah disebutkan,  آغرابي قال (seorang arab badui berkata). Keterangan ini menunjukkan kesalahan riwayat yang dinukilkan Ath-Thabrani dari jalur lain yang menyebutkkan, عن آبي موسى انه قال يارسول  الله (dari Abu Musa, sesungguhnya dia berkata, wahai rasulullah). Meskipun ada kemungkinan Abu Musa menyembunyikan identitasnya, tetapi tidak mungkin mengatakan bahwa dia mengatakan bahwa dia adalah orang arab badui.
            Kemungkinan orang arab badui yang dimaksud adalah Latiq bin Dhamairah. Kisahnya dikutip oleh Abu Musa Al Madini dalam kitab Ash-Shahabah dari jalur Ufair bin Midan.
            Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, dia berkata, يارسول الله كل بني سلمة يقاتل رياء (Wahai rasulullah, semua bani salimah berperang, diantara mereka ada yang berperang dalam keadaan riya’). Jika riwayat ini akurat, maka ada kemungkinan Mu’adz menanyakan pula apa yang ditanyakan oleh arab badui. Sebab pertanyaan Mu’adz bersifat khusus dan pertanyaan orang badui bersifat umum. Sementara Mu’adz tidak bisa dikatakan sebagai orang arab badui. Untuk itu, harus dipahami bahwa peristiwa tersebut terjadi lebih dari sekali.
            الرجل يقاتل للمغنم (seseorang yang berperang untuk mendapatkan harta rampasan perang). Dalam riwayat Mashur dari Abu Wa’il pada pembahasan tentang ilmu disebutkan, فقال: ماالقتال في سبيل الله فان احدنا يقاتل   (dia beranya: apakah perang di jalan Allah? Karena sesungguhnya salah seorang diantara kami berperang..)
            والرجل يقاتل للذكر (dan seseorang yang berperang untuk disebut-sebut). Maksudnya, agar disebut-sebut dan dikenal dengan keberaniannya. Makna ini merupakan teks riwayat Al-A’masy ddari Abu Wa’il yang disebutkan pada pembahasan tentang tauhid.
            والرجل يقاتل ليرى مكانه (seseorang berperang untuk dipandang kedudukannya). Dalam riwayat A’masy disebutkan, ويقاتل رياء (berperang karena riya’). Perbuatan sebelumnyya telah didasari sum’ah (mencari popularitas) sedangkan perbuatan ini didasari riya’’ (pamer), dan kedudukannya termasuk perbuatan yang tercela.
            من قاتل ليكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله (barangsiapa berperangg untuk meninggikan kalimat Allah maka ia berada di jalan Allah). Maksud ’kalimat Allah’ adalah seruan Allah kepada Islam. Ada kemungkinan yang dimaksud dengan berperang di jalan Allah peperangan yang hanya dimotivasi untuk meninggikan kalimat-Nya. Artinya, apabila dalam peperangan tersebut ada motivasi lain seperti yang disebutkan, maka hal ini akan memalingkan dari jalan Allah. Tapi ada pula kemungkinan hal ini tidak memalingkan dari jalan Allah, selama faktor lain tersebut hanya sebagai pelengkap bukan menjadi tujuan utama.
            Pendapat terakhir ini dibenarkan oleh Ath-Thabari, dia berkata “jika motivasi awalnya adalah untuk meninggikan kalimat Allah maka tidak ada larangan jika kemudian diikuti oleh maksud-maksud yang lain”. Pendapat ini menjadi sikap mayoritas ulama.
            Kesimpulannya, bahwa dasar suatu peperangan itu adalah kekuatan akal, kekuatan emosional, dan kekuatan syahwat. Hanya peperangan yang termotivasi oleh kekuatan akal yang dikategorikan peperangan di jalan Allah.
            Ibnu Baththal berkata, ”hanya saja Nabi SAW mengalihkan pembicaraan dan tidak menjawab pertannyaan secara langsung, karena terkadang emosi dan fanatisme itu muncul karena Allah. Maka beliau mengalihkan pembicaraan lalu menggunakan kata-kata yang lebih bersifat umum. Dengan demikian, jawaban beliau telah menghilangkan sifat kesamaran dan menambah pemahaman orang yang bertanya”.

            Pelajaran yang dapat diambil:
1.      Amal perbuatan itu dinilai berdasarkan niat yang shahih
2.      Keutamaan yang diperuntukkan orang-orang yang berjuang di jalan Allah, hanya khusus bagi mereka yang disebutkan
3.      Bolehnya menanyakan sebab suatu hukum, dan kewajiban untuk mendahulukan ilmu daripada amal perbuatan
4.      Celaka bagi sifat tamak terhadap dunia dan berperang untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk ketaatan.
D. Taat kepada orang tua merupakan bagian dari jihad
LM : 1653

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا الْعَبَّاسِ الشَّاعِرَ وَكَانَ لَا يُتَّهَمُ فِي حَدِيثِهِ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Adam telah bercerita kepada kami Syu'bah telah bercerita kepada kami Habib bin Abi Tsabit berkata aku mendengar Abu Al 'Abbas Asy-Sya'ir, dia adalah orang yang tidak buruk dalam hadits-hadits yang diriwayatkannya, berkata aku mendengar 'Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma berkata: "Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu meminta izin untuk ikut berjihad. Maka Beliau bertanya: "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Laki-laki itu menjawab: "Iya". Maka Beliau berkata: "Kepada keduanyalah kamu berjihad (berbakti) ".
Kandungan hadits:
  1. Kewajiban untuk berjihad
  2. Berbuat kebajikan kepada kedua orang tua merupakan kewajiban yang paling utama
  3. Mendahulukan berbuat baik kepada orang tua atas amalan fardhu kifayah dan ibadah sunnah
  4. Yang dimaksudkan “kepada keduanya saja engkau berjihad” adalah memberikan bagian bersama-sama dalam bentuk beban jihad yang berupa lelah fisik dan pengeluaran dana dan biaya.
  5. Setiap sesuatu yang memberatkan jiwa disebut sebagai jihad
Adapun jumhur ulama memberikan batasan bahwa orang tua yang perlu diminta izin adalah orang tua yang beragama Islam. Maksudnya, mengkhususkan jihad jiwa dalam mencapai keridhaan mereka. Dari sini diambil pelajaran tentang bolehnya mengngkapkan sesuatu dengan menyebutkan lawannya selama maknanya dapat dipahami.[4]
Mayoritas ulama berpendapat tentang diharamkannya berjihad apabila kedua orang tua atau salah satunya melarang, tetapi dengan syarat orang tua itu muslim. Sebab berbakti kepada keduanya merupakan fardhu ‘ain bagi seorang anak, sedang jihad fardhu kifayah. Tapi apabila jihad telah menjadi fardhu ‘ain maka tidak perlu minta izin kepada orang tua terlebih dahulu.[5]
Berkata imam Ath-Thabari, “jadilah engkau di depan keduanya dengan merendahkan diri dan berikanlah kasih sayang darimu dengan menaati keduanya dengan apa-apa yang mereka perintahkan didalam perkara-perkara yang bukan maksiat serta tidak menyelisihi mereka didalam apa-apa yang mereka cintai.[6]
Betapa agung sebuah kebaktian terhadap orang tua bahkan Rasulullah SAW mengisyaratkan lebih utama dari pada jihad. Amat disayangkan apa yang melanda umat Islam akhir-akhir ini, mereka tidak lagi memperdulikan kewajiban sebagai seorang anak kepada orang tua. Telah merajalela di tengah-tengah masyarakat dimana orang tua mati-matian mewujudkan semua impian anaknya agar menjadi orang yang sukses biar nasib anaknya tidak sama seperti yang melanda nasibnya, namun diluar pradugaan yang sering terjadi ketika anaknya meniti jenjang karir kesuksesan, dengan menumpukkan berbagai kesibukan, sang anak membalasi kasih sayang orang tuanya dengan belaian pengasuh panti jompo. Padahal yang diharapkan kasih sayang anaknya sebagai kebaktian pada keduanya.


[1] Yusuf Al-Qardawi, Ringkasan Fikih Jihad, penerj. Matsuri Irham, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar (2011), hal. 29
[2] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan, Jakarta Timur: Ummul Qura (2012), hal 783
[3] Ibid, hal.786
[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, penerj. Amiruddin, 2006, Jakarta: Pustaka Azzam, jilid 15, hal.82
[5] ibid, hal.431
[6] Tafsir Ath-Thabari, jilid 14, hal.550

Tidak ada komentar:

Posting Komentar