JIHAD FI SABILILLAH
A. Pengertian jihad fi
sabilillah
Jihad diartikan
perjuangan. Jihad adalah bentuk masdar yang berasal dari kata جاهد- يجاهد- مجاهدة/ جهادا. Arti secara bahasa menunjukkan pada sebuah usaha mengerahkan
segala kemampuan, potensi dan kekuatan. Meski secara umum, orang memahami jihad
dalam pengertian perang membela agama dan membela kehormatan ummat, namun
sebenarnya al-Quran dan Sunnah menggunakan kata itu dalam pengertian lebih luas
spektrumnya.[1]
Menurut Ibnu Mansur dalam kamus “Lisanul
Arab” yang dikemukakan oleh Drs. Budi Abdullah dalam bukunya mengatakan
“Jihad adalah berusaha dan menghabiskan segala daya dan kekuatan baik berupa
ucapan maupun perbuatan.
Menurut Syeikh Rasyid Ridha, Jihad
adalah jalan yang menyampaikan kita kepada keridhaan-Nya, jalan untuk
memelihara agama-Nya dan memperbaiki keadaan hamba-hambanya.
Sedangkan menurut Ar-Raghib
Al-Ashfahani, jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.
B. Fadhilah jihad dan
berjaga-jaga di garis depan
Hadits LM : 1237
حَدَّثَنَا عَبْدُ
بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
قَالَ رَجُلٌ أَيُّ
النَّاسِ أَفْضَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ بِنَفْسِهِ
وَمَالِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ
فِي شِعْبٍ مِنْ الشِّعَابِ يَعْبُدُ رَبَّهُ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ
و حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
يُوسُفَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فَقَالَ
وَرَجُلٌ فِي شِعْبٍ وَلَمْ يَقُلْ ثُمَّ رَجُلٌ
Artinya: “Telah
menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah mengabarkan kepada kami
Abdurrazaq menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari 'Atha bin Yazid
Al Laitsi dari Abu Sa'id dia berkata, "Seorang laki-laki berkata,
"Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling utama?" beliau
menjawab: "Seorang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan
hartanya." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" beliau menjawab:
"Kemudian seorang laki-laki yang pergi menyendiri ke suatu bukit untuk
beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan dari kejahatan manusia." Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Yusuf dari Al Auza'i dari Ibnu Syihab dengan sanad
ini, dengan mengatakan; lalu ada seorang laki-laki dari suatu kaum tidak hanya
kata seorang laki-laki.[2]
Keterangan hadits:
Ibnu Hatim meriwayatkan bersama Ath-Thabari dari jalur
Qatadah, ia berkata, لولا
ان الله ب بينها ودل عليها لتلهف عليها رجال ان يكونوا يعلمونها حتى يطلبونها (sekiranya Allah tidak
menjelaskan niscaya terjadi kesedihan mendalam pada sejumlah orang karena
mereka ingin mengetahuinya hingga bisa mendapatkannya).
مؤمن
في شعب (mukmin yang berada
dilembah). Dalam riwayat Imam Muslim dari jalur
Ma’mar dari Az-Zuhri disebutkan, رجل
معتزل (laki-laki yang
mengasingkan diri).
يتقي
الله (bertaqwa kepada Allah). Dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Az—Zubaidi, dari
Az-Zuhri disebutkan, يعبد
الله (beribadah kepada
Allah). Sementara dalam hadits Ibnu Abbas
disebutkan, معتزل في شعب يقيم الصلاة ويؤتي
الزكاة ويعتزل شرور الناس (mengasingkan
diri disuatu lembah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan menghindari
kejahatan manusia).
Dalam
riwayat At-tirmidzi, diia mengategorikannya sebagai hadits hasan dan Al-Hakim
dia menshahihkannya, dari jalur Ibni Abi Dzi’b dari Abu Hurairah, ان
رجلا مر بشعب فيه عين عذبة, فآعجبه فقال: لو اعتزلت, ثم استآذن النبي صلى الله
عليه وسلم فقال: لا تفعل, فان مقام احدهم في سبيل الله افضل في صلاته في بيته
سبعين عاما (sesungguhnya seorang
laki-laki melewati suatu lembah yang terdapat mata air tawar. Laki-laki itu pun
kagum dibuatnya dan berkata, ‘sekiranya aku mengasingkan diri’. Kemudian dia
meminta izin kepada Nabi SAW dan beliau bersabda, ‘jangan lakukan, karena
kedudukan salah seorang diantara merekadi jalan Allah lebih utama daripada
shalat dia di rumahnya selama tujuh puluh tahun ).
Hadits
ini mengandung keterangan tentang keutamaan menyendiri (mangasingkan diri)
karena perbuatan ini dapat menjauhkan seseotrang dari ghibah (menggunjing), perkataan sia-sia dan serupa dengannya.
Adapun mengasingkan diri dari manusia secara total, maka mayoritas ulama
membolehkannya ketika terjadi fitnah.
C. Siapa yang perang untuk
menegakkan kalimatullah (Agama Allah) maka itulah yang bernama fi sabilillah
LM : 1243
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ
حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ
عَمْرٍو عَنْ
أَبِي وَائِلٍ عَنْ
أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ فَمَنْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ
قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ
الْعُلْيَا فَهُوَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya: “Telah
bercerita kepada kami Sulaiman bin Harb telah bercerita kepada kami Syu'bah
dari 'Amru dari Abu Wa'il dari Abu Musa radliallahu 'anhu berkata; Datang
seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata:
"Seseorang berperang untuk mendapatkan ghanimah, seseorang yang lain agar
menjadi terkenal dan seseorang yang lain lagi untuk dilihat kedudukannya,
manakah yang disebut fii sabilillah?" Maka Beliau bersabda: "Siapa
yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah dialah yang disebut fii
sabilillah".[3]
Keterangan hadits:
(Bab orang yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah), maksudnya keutamaan orang yang berperang untuk
meninggikan kalimat Allah. Atau ada kemungkinan kaimat tersebut berbunyi; orang
yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang diperhitungkan.
جاء رجل (seorang laki-laki datang). Dalam riwayat ghundar telah disebutkan, آغرابي قال (seorang arab badui berkata). Keterangan ini menunjukkan kesalahan riwayat yang
dinukilkan Ath-Thabrani dari jalur lain yang menyebutkkan, عن آبي موسى انه قال يارسول الله (dari
Abu Musa, sesungguhnya dia berkata, wahai rasulullah).
Meskipun ada kemungkinan Abu Musa menyembunyikan identitasnya, tetapi tidak
mungkin mengatakan bahwa dia mengatakan bahwa dia adalah orang arab badui.
Kemungkinan
orang arab badui yang dimaksud adalah Latiq bin Dhamairah. Kisahnya dikutip
oleh Abu Musa Al Madini dalam kitab Ash-Shahabah
dari jalur Ufair bin Midan.
Diriwayatkan
dari Mu’adz bin Jabal, dia berkata, يارسول
الله كل بني سلمة يقاتل رياء (Wahai
rasulullah, semua bani salimah berperang, diantara mereka ada yang berperang
dalam keadaan riya’). Jika riwayat ini
akurat, maka ada kemungkinan Mu’adz menanyakan pula apa yang ditanyakan oleh
arab badui. Sebab pertanyaan Mu’adz bersifat khusus dan pertanyaan orang badui
bersifat umum. Sementara Mu’adz tidak bisa dikatakan sebagai orang arab badui.
Untuk itu, harus dipahami bahwa peristiwa tersebut terjadi lebih dari sekali.
الرجل
يقاتل للمغنم (seseorang yang
berperang untuk mendapatkan harta rampasan perang).
Dalam riwayat Mashur dari Abu Wa’il pada pembahasan tentang ilmu disebutkan, فقال:
ماالقتال في سبيل الله فان احدنا يقاتل (dia
beranya: apakah perang di jalan Allah? Karena sesungguhnya salah seorang
diantara kami berperang..)
والرجل
يقاتل للذكر (dan seseorang yang
berperang untuk disebut-sebut). Maksudnya, agar
disebut-sebut dan dikenal dengan keberaniannya. Makna ini merupakan teks
riwayat Al-A’masy ddari Abu Wa’il yang disebutkan pada pembahasan tentang
tauhid.
والرجل
يقاتل ليرى مكانه
(seseorang
berperang untuk dipandang kedudukannya).
Dalam riwayat A’masy disebutkan, ويقاتل
رياء (berperang karena
riya’). Perbuatan sebelumnyya telah didasari sum’ah (mencari popularitas) sedangkan
perbuatan ini didasari riya’’ (pamer), dan kedudukannya termasuk perbuatan yang
tercela.
من
قاتل ليكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله (barangsiapa
berperangg untuk meninggikan kalimat Allah maka ia berada di jalan Allah).
Maksud ’kalimat Allah’ adalah seruan
Allah kepada Islam. Ada kemungkinan yang dimaksud dengan berperang di jalan
Allah peperangan yang hanya dimotivasi untuk meninggikan kalimat-Nya. Artinya,
apabila dalam peperangan tersebut ada motivasi lain seperti yang disebutkan,
maka hal ini akan memalingkan dari jalan Allah. Tapi ada pula kemungkinan hal
ini tidak memalingkan dari jalan Allah, selama faktor lain tersebut hanya
sebagai pelengkap bukan menjadi tujuan utama.
Pendapat
terakhir ini dibenarkan oleh Ath-Thabari, dia berkata “jika motivasi awalnya
adalah untuk meninggikan kalimat Allah maka tidak ada larangan jika kemudian diikuti
oleh maksud-maksud yang lain”. Pendapat ini menjadi sikap mayoritas ulama.
Kesimpulannya,
bahwa dasar suatu peperangan itu adalah kekuatan akal, kekuatan emosional, dan
kekuatan syahwat. Hanya peperangan yang termotivasi oleh kekuatan akal yang
dikategorikan peperangan di jalan Allah.
Ibnu
Baththal berkata, ”hanya saja Nabi SAW mengalihkan pembicaraan dan tidak
menjawab pertannyaan secara langsung, karena terkadang emosi dan fanatisme itu
muncul karena Allah. Maka beliau mengalihkan pembicaraan lalu menggunakan
kata-kata yang lebih bersifat umum. Dengan demikian, jawaban beliau telah
menghilangkan sifat kesamaran dan menambah pemahaman orang yang bertanya”.
Pelajaran yang dapat diambil:
1. Amal perbuatan itu dinilai berdasarkan
niat yang shahih
2. Keutamaan yang diperuntukkan orang-orang
yang berjuang di jalan Allah, hanya khusus bagi mereka yang disebutkan
3. Bolehnya menanyakan sebab suatu hukum,
dan kewajiban untuk mendahulukan ilmu daripada amal perbuatan
4. Celaka bagi sifat tamak terhadap dunia
dan berperang untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk ketaatan.
D. Taat kepada orang tua merupakan bagian dari jihad
LM : 1653
حَدَّثَنَا آدَمُ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
الْعَبَّاسِ الشَّاعِرَ وَكَانَ لَا يُتَّهَمُ فِي حَدِيثِهِ قَالَ سَمِعْتُ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ
فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Artinya: “Telah
bercerita kepada kami Adam telah bercerita kepada kami Syu'bah telah bercerita
kepada kami Habib bin Abi Tsabit berkata aku mendengar Abu Al 'Abbas
Asy-Sya'ir, dia adalah orang yang tidak buruk dalam hadits-hadits yang
diriwayatkannya, berkata aku mendengar 'Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma
berkata: "Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam lalu meminta izin untuk ikut berjihad. Maka Beliau bertanya: "Apakah
kedua orang tuamu masih hidup?" Laki-laki itu menjawab: "Iya".
Maka Beliau berkata: "Kepada keduanyalah kamu berjihad (berbakti) ".
Kandungan hadits:
- Kewajiban untuk berjihad
- Berbuat kebajikan kepada kedua orang tua merupakan kewajiban yang paling utama
- Mendahulukan berbuat baik kepada orang tua atas amalan fardhu kifayah dan ibadah sunnah
- Yang dimaksudkan “kepada keduanya saja engkau berjihad” adalah memberikan bagian bersama-sama dalam bentuk beban jihad yang berupa lelah fisik dan pengeluaran dana dan biaya.
- Setiap sesuatu yang memberatkan jiwa disebut sebagai jihad
Adapun jumhur
ulama memberikan batasan bahwa orang tua yang perlu diminta izin adalah orang
tua yang beragama Islam. Maksudnya, mengkhususkan jihad jiwa dalam mencapai
keridhaan mereka. Dari sini diambil pelajaran tentang bolehnya mengngkapkan
sesuatu dengan menyebutkan lawannya selama maknanya dapat dipahami.[4]
Mayoritas
ulama berpendapat tentang diharamkannya berjihad apabila kedua orang tua atau
salah satunya melarang, tetapi dengan syarat orang tua itu muslim. Sebab
berbakti kepada keduanya merupakan fardhu ‘ain bagi seorang anak, sedang jihad
fardhu kifayah. Tapi apabila jihad telah menjadi fardhu ‘ain maka tidak perlu
minta izin kepada orang tua terlebih dahulu.[5]
Berkata imam
Ath-Thabari, “jadilah engkau di depan keduanya dengan merendahkan diri dan
berikanlah kasih sayang darimu dengan menaati keduanya dengan apa-apa yang
mereka perintahkan didalam perkara-perkara yang bukan maksiat serta tidak
menyelisihi mereka didalam apa-apa yang mereka cintai.[6]
Betapa agung
sebuah kebaktian terhadap orang tua bahkan Rasulullah SAW mengisyaratkan lebih
utama dari pada jihad. Amat disayangkan apa yang melanda umat Islam akhir-akhir
ini, mereka tidak lagi memperdulikan kewajiban sebagai seorang anak kepada
orang tua. Telah merajalela di tengah-tengah masyarakat dimana orang tua
mati-matian mewujudkan semua impian anaknya agar menjadi orang yang sukses biar
nasib anaknya tidak sama seperti yang melanda nasibnya, namun diluar pradugaan
yang sering terjadi ketika anaknya meniti jenjang karir kesuksesan, dengan
menumpukkan berbagai kesibukan, sang anak membalasi kasih sayang orang tuanya
dengan belaian pengasuh panti jompo. Padahal yang diharapkan kasih sayang
anaknya sebagai kebaktian pada keduanya.
[1] Yusuf Al-Qardawi, Ringkasan Fikih Jihad, penerj. Matsuri
Irham, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar (2011), hal. 29
[2] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan, Jakarta
Timur: Ummul Qura (2012), hal 783
[3] Ibid, hal.786
[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, penerj. Amiruddin,
2006, Jakarta: Pustaka Azzam, jilid 15, hal.82
[5] ibid, hal.431
[6] Tafsir Ath-Thabari, jilid 14, hal.550
Tidak ada komentar:
Posting Komentar